maleonews.com _ Gorontalo – ” Kerawanan Pilkada, dan Minimum Gagasan ” ditulis oleh seorang Pengajar jurusan Ilmu Politik IAIN Sultan Amai Gorontalo, Eka Putra B Santoso.
Mukadimah :
Pada November mendatang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2024 akan dilaksanakan. KPU di berbagai tingkatan telah melakukan kegiatan ceremonial tentang peluncuran tahapan pada satu Mei kemarin. Di Gorontalo, euforia akan hal tersebut memantik konsolidasi elit partai dan non partai. Penjajakan, hingga beberapa wacana pasangan bakal calon menjadi pemberitaan yang menarik perhatian masyarakat. Namun, situasi menuju popularitas hingga berujung pada naiknya elektabilitas elit lokal , nampaknya berbanding terbalik dengan gagasan yang nantinya menjadi substansi elit dalam menarik pemilih. Tulisan ini akan memfokuskan kajian tentang dinamika politik elit lokal dalam Pilkada 5 tahunan. Terkhusus, di Gorontalo yang mengalami sindrom political shcok pasca pembentukannya sebagai Provinsi.
Konflik Pilkada :
Gorontalo telah melewati 2 dekade lebih sebagai daerah otonom. Dinamika politik lokal juga mengalami banyak perubahan, dari yang terikat dengan nuansa kewilayah Sulawesi Utara hingga ke distribusi posisi yang relativ lebih mengerucut pada kekuatan elit lokal. Signifikansi perubahan berujung pada dinamika politik internal yang cukup ketat. Daya saing antar elit atau partai kadangkala berujung pada situasi wacana atau tindakan yang cukup menegangkan. Apalagi potret tradisi “coret” dari KPU atas rekomendasi pelanggaran sering sekali terjadi. hal itu mengakibatkan indeks kerawanan Pilkada di Gorontao nampaknya memperlihatkan potensi yang tinggi. Liat saja pada pemilihan walikota 2013-2018, pemilihan bupati bone bolango 2015, pemilihan bupati boalemo 2017, dan yang terakhir pada pemilihan bupati kabupaten gorontalo pada 2020— tentunya dengan jenis pelanggaran yang berbeda— Fenomena ini pada dinamikanya menyebabkan kekerasan politik yang cukup merisaukan, mulai dari simbolik hingga berujung pada kekerasan fisik(Pebrian 2021)
Namun esensi dari fenomena tersebut menghadirkan kesadaran bahwa personifikasi terjadi dalam ruang-ruang politik di Gorontalo. Kekuatan partai sebagai lembaga nampaknya tergerus dengan kekuatan personal elit (charisma figure) (Muhtadi 2019) yang menginfiltrasikan pengaruhnya pada ruang psikologis massa.
Pada tahun ini, eksistensi elit politik mengalami inflasi yang tinggi. Agenda personal yang ditawarkan kembali memuncak karena momentum pesta demokrasi 5 tahunan. Arah koalisi pemenang pemilu di Gorontalo, pada skala Provinsi kini cenderung mencari teman koalisi untuk berpasangan level Gubernur. Gambaran ini sungguh kontras dengan potret 10 tahun lalu, dimana kepercayaan diri maju tanpa koalisi pasangan partai lainnya. Pada satu dedake yang lalu partai lain hanya ditempatkan sebagai pendukung, karena dianggap punya massa yang tentunya tidak banyak mempengaruhi partai pemenang. Kini, peta itu mengalami perubahan signifikan. Bisa jadi , pemenang pileg kali ini tidak akan cukup beruntung pada pemilihan kepala daerah —jika arah koalisi tidak perhitungkan dengan sangat matang— Namun dilain pihak, ketika kecenderungan asimetris terjadi antara pemenang pileg dan pilkada akan berdampak sangat baik pada pembangunan demokrasi —dengan implikasi pengetatan program yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat— Hubungan ini yang harusnya dilihat partai politik. karena referensi ketimpangan dan kemiskinan yang terjadi 10 tahun terakhir, salah satunya diakibatkan minimnya fungsi pengawasan DPRD pada Bupati/Walikota atau Gubernur terpilih.
kalau itu terjadi , proses jalannya demokrasi nampaknya akan menguntungkan masyarakat, karena program yang ditawarkan elit politik akan mengalami diskursus publik yang tajam. Masyarakat tidak hanya menjadi pemilih atau objek saja dalam Pilkada, namun juga ikut mendapatkan manfaat dari kontrak sosial yang dibuat sang kepala daerah. Bisa dikatakan dalam skala lokal demokrasi tanpa demos cenderung tidak terjadi. Opsi ini memang agak sulit karena kecenderungan pragmatisme yang menggerogoti partai politik kita seakan menegasikan fungsi kontrol yang melekat. Karena itu, tidak aneh ketika banyak kompromi politik mengarah pada keuntungan individu bahkan kelompok, yang secara substansial tidak menyentuh mayoritas masyarakat yang membutuhkan.
Minimum Gagasan Kaya Akronim :
Pekan ini kita sudah banyak melihat beberapa elit lokal mendeklarasikan dirinya untuk kontestasi Pilkada 2024. Mereka terdiri dari elit utama partai, kalangan pengusaha, hingga dari dunia perguruan tinggi. Namun yang absen adalah gagasan mereka untuk bicara spesifik akan kebutuhan daerah yang akan mereka duduki. Hal yang paling menonjol adalah baliho-baliho bakal calon, flayer — yang sebenarnya merupakan upaya untuk memantik elektabilitas ketika disurvey oleh partai politik pengusung— Hal ini sama dengan mereka yang mencoba keberuntungan di jalur independen. Tak ada gagasan selain akronim nama, atau slogan yang jauh dari nilai substansi masalah yang ada. Politik lokal tak ubahnya lebih mementingkan kemasan dan bersifat seperti lapak, gerai atau show room (Hasan 2009). Memang, ketika sistem Pilkada langsung dibuka, akses pencitraan politik elit memainkan peranannya yang massif, teori image building menyebutnya; citra dari elit akan masuk melalui panca indera kemudian saringan perhatian (attention filter) dan dari situlah pesan akan keluar, serta melahirkan persepsi publik. idealnya, tingginya biaya citra diri harus disesuaikan dengan program kongkrit yang bisa di challenge public. realisasi ini yang tidak kelihatan sama sekali. Padahal ketika kita coba runutkan pelan-pelan, beberapa masalah kursial dari pengelolaan daerah membutuhkan ide dan gagasan yang tidak biasa. Misalnya , ketika kita melihat potret stagnasi angka kemiskinan yang cenderung bertahan 15 tahun terakhir. Data Pemetaan sentra ekonomi masyarakat di wilayah Kota/Kabupaten, konflik agraria, pertambangan, tata kelola kota , intoleransi, hingga strategi membangun kerja sama kebijakan antar daerah — untuk penanggulangan bencana banjir yang menjadi penyakit tahuhan daerah ini— Hingga saat ini obrolan-obrolan seperti itu belum meramaikan ruang publik kita. Instrumen deliberatif di warung kopi hanya berkutat tentang who gets what, when, and how .
Kesimpulan :
Potensi kerawanan dalam demokrasi justru banyak terjadi pada perhelatan Pilkada. Di Gorontalo fenomena itu terjadi di beberapa pemilihan kepala daerah. Kasusnya pun beragam. Dari gambaran itu, bakal calon kepala daerah harusnya mampu memberikan ide dan gagasannya didepan publik, baik tentang bagaimana bisa berkontestasi dengan damai, dan yang terpenting adalah mengurai potensi masalah daerah secara rigid. Instrumen itu yang kini hilang dari pemberitaan kita hari ini. para elit hanya terjebak pada kegiatan – kegiatan ceremonial, asupan puja-puji (koprol) dari tim yang pasti akan sukses. hingga dugaan hitung-hitungan modal untuk bisa memenangkan kontestasi. Banyak isu yang berkembang bahwa modal (uang) dalam perhelatan pilkada tidak sedikit. Mulai dari dugaan mengamankan rekomendasi, hingga praktik jual beli suara (vote buying) (Aspinall dan Sukmajati 2015) yang mungkin akan terjadi.
Well , semoga pemilih kita makin kritis dengan ulasan ini . terima kasih.